(Pengalaman Pribadi Seorang Ayah)
Hari Pertama, Sabtu, 8 April 2000 Suatu hal yang sangat kami nanti-nantikan selama ini akhirnya terwujud menjadi kenyataan. Isteri saya yang mengandung anak kedua kami memasuki masa persalinannya. Karena posisi bayi yang tidak sebagaimana mestinya, isteri saya harus menjalani operasi caesar, yang dijadwalkan dilaksanakan hari ini. Sebenarnya kami harus datang ke R.S. Husada pk. 06.00 pagi pada hari ini, tetapi empat jam sebelum itu ternyata ketuban isteri saya pecah, sehingga kami harus segera berangkat. Walaupun hal seperti ini pernah kami alami pada waktu menjelang kelahiran anak pertama, kami tetap merasa sedikit panik dibuatnya. Betapa tidak? Air ketuban yang dikeluarkan isteri saya banyak sekali dan kami jadi agak khawatir kalau-kalau proses persalinan harus segera dilakukan pagi subuh ini juga. Setelah ditangani oleh para suster jaga, proses persalinan ternyata masih bisa ditunda sampai waktu yang sudah disepakati untuk caesar, yaitu pk. 09.00 pagi. Saya merasa sangat lega, sehingga walaupun tidak terlalu pulas saya dapat meneruskan tidur di bangku-bangku yang ada di depan lift lantai lima Graha Husada.
Sekitar pk. 05.30 pagi saya bangun dan menghubungi mertua saya dengan ponsel (handphone). Karena keadaan masih dapat terkendali, maka saya putuskan untuk tidak menghubungi hingga pagi hari, agar mereka tidak menjadi khawatir. Ternyata sebelum saya menghubunginya, beliau sudah lebih dulu menelepon ke rumah dan menjadi sangat khawatir setelah diberitahu pembantu kami bahwa kami sudah berangkat ke rumah sakit sekitar pk. 02.00 pagi. Memang terkadang maksud baik bisa kurang pas hasilnya bila implementasinya kurang tepat waktu dan keadaan. Cuma dua yang saya rasa sangat perlu untuk dihubungi pagi itu. Yang pertama sudah, yang kedua adalah seorang ibu pendeta yang sudah sejak tahun 80-an saya kenal. Ketika itu saya masih aktif sebagai pengurus di Komisi Remaja. Beliau saya kenal sebagai figur yang sangat tegas, tapi juga sekaligus penuh perhatian. Beliau jugalah yang memberkati pernikahan kami hampir lima tahun yang lalu. Saya sebetulnya cuma mengharapkan dukungan doa dan ucapan yang menguatkan lewat telepon dari ibu pendeta, tapi ternyata Tuhan lebih mengerti apa yang saya butuhkan. Sekitar jam 8.00, ibu pendeta datang dan terus mendampingi kami. Saya mengira sesudah mendoakan isteri saya pada waktu mau masuk ruang operasi beliau akan pamit, tapi nyatanya tidak. Saya yakin bahwa Tuhan sudah membimbing ibu pendeta untuk terus berada bersama kami sampai operasi caesar selesai. Pada saat operasi berlangsung, datang pula kakak perempuan saya dan saudara-saudara dari isteri saya.
Menit demi menit berlalu, dan tidak pernah sama sekali terlintas di benak saya hal yang terjadi kemudian. Sekitar dua puluh menit sesudah pk. 09.00 pagi, beberapa suster beserta seorang dokter keluar menemui saya dengan membawa anak yang baru dilahirkan isteri saya. Sambil memperlihatkan anak saya yang baru lahir itu, dokter anak yang menanganinya memberitahukan saya akan kondisi fisik anak saya yang memiliki beberapa kelainan. Mama mertua saya menangis tersedu-sedu. Saya sedih dan kaget. Dokter juga bertanya kepada saya apakah anak yang lahir ini akan dirawat intensif atau seadanya saja. Tentu saja saya segera memutuskan untuk dirawat intensif, bagaimanapun keadaannya sekarang dan apapun resikonya nanti. Yang pertama-tama saya khawatirkan adalah bagaimana perasaan isteri saya bila dia mengetahui hal ini. Selagi isteri saya belum sadar dari operasi, anak kami dibawa ke tempat untuk merawat bayi prematur. Walaupun cukup umur, tapi karena beratnya yang hanya 1,8 kg dan panjang 40 cm, anak kami dikategorikan sebagai bayi prematur. Dokter kemudian mengatakan bahwa ari-ari yang menghubungkan anak kami dengan plasenta ibunya kecil sekali, sementara dekat tali pusat bayi ada pembengkakkan usus. Hal ini yang mengakibatkan fisik anak kami kecil sekali, yaitu karena makanan yang diterimanya jadi sedikit.
Memang Tuhan sudah menyiapkan segala yang terbaik. Ibu pendeta langsung menghibur serta menguatkan saya dan mengingatkan agar tetap tabah dan kuat, jangan saling menyalahkan dengan isteri dan tidak perlu bertanya MENGAPA, terlebih lagi menyalahkan Tuhan. Beliau juga mengingatkan saya agar juga menyiapkan diri untuk hal terburuk yang mungkin terjadi, yaitu apabila Tuhan mengambil kembali anak kami ini. Hati saya sangat menangis dan hancur waktu itu, walaupun tidak terlalu tampak pada raut wajah saya. Saat itu, walaupun gelombang duka melanda begitu keras, saya merasa Tuhan sedang membelai-belai kepala saya sambil menghibur dan menguatkan saya lewat keberadaan dan setiap perkataan dari ibu pendeta. Ada kekuatan yang lebih besar dari gelombang duka tersebut yang mengalir menghangatkan hati dan jiwa saya. Saya sadar bahwa sebagai manusia tidak ada yang dapat saya lakukan saat ini selain berserah sepenuhnya kepada Tuhan. Andaipun saya punya uang segudang saya tetap tidak dapat membeli kesehatan dan hidup bagi anak saya. Oke, sekarang saya cukup kuat untuk diri saya sendiri, tapi bagaimana dengan isteri saya? Oh Tuhan, berilah saya hikmat dan bijaksana dalam membicarakan hal ini dengan isteri saya. Beberapa saat setelah isteri saya sadar, saya menemaninya didorong ke kamarnya di 511-B. Isteri saya bertanya tentang keadaan anak kami. Saya pikir belum saatnya untuk berterus terang sepenuhnya, jadi saya cuma mengatakan bahwa anak kami secara fisik dikategorikan sebagai bayi prematur karena berat badannya yang kurang dan dirawat secara khusus, sehingga dalam beberapa hari ini belum bisa dibawa ke mamanya. Terlihat wajah yang agak penasaran dari isteri saya karena katanya dia belum melihat sama sekali anaknya ketika selesai operasi. Dia hanya mendengar percakapan antara para dokter yang mengatakan bahwa anaknya kecil. Dia juga mendengar tangisan bayi sejenak, tapi kemudian tidak sadarkan diri karena dokter membiusnya total. Saya berusaha untuk bisa terlihat gembira oleh isteri saya agar dia tidak menjadi khawatir. Ada saudara-saudara dan beberapa sahabat dekat yang datang dan mengucapkan selamat hari ini, tapi hanya dua orang sahabat dan dua orang saudara yang saya beritahu kondisi anak saya yang sebenarnya, dengan harapan mereka dapat mendukung saya dalam doa agar saya dapat lebih dikuatkan dalam menghadapi semuanya ini. Beberapa kali saya datang melihat anak saya yang tempat perawatannya cukup jauh dari tempat perawatan isteri saya. Timothy Gabriel, yang saya panggil Timmy, terbaring lemah di dalam inkubator, sementara saya hanya bisa melihatnya dari balik kaca ruang perawatan bayi prematur. Saya tidak dapat menahan air mata saya lagi saat itu. Saya merasa seperti anak kecil yang sedang mengadu kepada orangtuanya sambil menangis. Sayapun mengadukan perkara saya kepada Bapa saya yang di Sorga, dan saya yakin Dia mendengar segala keluhan dan tangisan saya. Hampir semua saudara datang untuk mengucapkan selamat kepada kami hari ini.
Ya ... hari ini adalah hari yang sangat melelahkan. Bukan cuma fisik saya yang lelah, tapi jiwa saya juga. Tetapi saya terus berharap pada kekuatan yang dari Tuhan dan memang Dia memberikan kekuatan itu kepada saya. Setelah semua tamu pulang, malam itu sebelum saya pun pulang, saya mengajak isteri saya berdoa. Dalam doa itu kami mengucap syukur atas Timmy, dan kami juga mendoakannya supaya kondisinya cepat normal kembali. Hari ini saya belum dapat menceritakan sepenuhnya pada isteri saya masalah anak kami, karena memang keadaan isteri saya belum memungkinkan untuk itu. Malam itu saya pulang ke rumah mertua saya dan tidur di sana.
Hari Kedua, Minggu, 9 April 2000 Pagi-pagi saya bangun dan segera pergi ke gereja untuk mengikuti kebaktian pertama. Firman Tuhan pagi itu benar-benar menguatkan saya karena sangat relevan dengan situasi yang sedang saya hadapi. Pendeta Iwan mengatakan, mudah bagi kita untuk memberikan sekadarnya atau menurut kerelaan kita, tapi amat sangat sangat sulit bila kita harus memberikan yang terbaik bagi Tuhan atau sesama kita. Dan itulah yang Tuhan sudah berikan pada kita, Yang Terbaik, yaitu Putra Tunggal-Nya sendiri, Yesus Kristus. Apakah kita rela, jika saat ini kita diminta untuk memberikan yang terbaik bagi Tuhan? Apakah kita bisa berkata seperti Ayub berkata, "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan!"? Sekaget terkena setrum saya mendengar pertanyaan itu. Seolah secara langsung Tuhan menanyakan hal itu pada saya. Saya menundukkan tubuh dan jiwa saya untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan saat itu, dan saya katakan, "Tuhan, Engkau tahu yang terbaik untuk saya dan bagi keluarga saya, juga bagi anak saya, Timmy yang baru lahir. Biarlah kehendak Tuhan yang terjadi dan terima kasih ya Tuhan, karena telah mengingatkan saya agar saya siap sedia dan rela atas hal terburuk apapun yang akan terjadi karena saya percaya, Tuhan akan selalu menuntun dan memberi saya kekuatan untuk menghadapi semuanya."
Ketika kemarin ibu pendeta mengingatkan saya untuk menyiapkan diri bila Tuhan ingin mengambil kembali anak saya, saya belum bisa menerima hal tersebut, tapi saat ini, walaupun dengan sangat berat dan hancur hati, saya merelakan Timmy untuk pulang kembali kepada Bapa di Sorga. Setelah dari gereja saya mengantar-jemput anak pertama saya ke sekolah minggu. Inilah kesulitan saya yang berikutnya. Begitu berat rasa hati ini karena belum dapat berterus terang pada anak pertama saya, bagaimana kondisi adiknya. Saya menjanjikan anak pertama saya untuk langsung menjenguk mamanya di rumah sakit sepulang sekolah minggu. Dia senang sekali dan mengatakan mau melihat 'dede'-nya. Saya tidak bisa bilang apa-apa selain mengiyakan anak saya itu, padahal dalam hati saya menangis mendengarnya. Setiba di rumah sakit, sudah ada seorang sahabat dekat saya bersama isterinya datang menjenguk. Walaupun kondisi sahabat saya ini masih kurang baik karena sekitar bulan lalu terkena stroke, tapi dia tetap meluangkan waktunya untuk memberi selamat pada kami. Kami sungguh bersyukur punya sahabat yang begitu memperhatikan. Saya tidak mau merepotkan sahabat saya lebih banyak lagi, sehingga saya tidak memberitahukannya tentang keadaan anak kami. Anak pertama saya penasaran dan terus menanyakan keadaan adiknya. Saya beritahu bahwa adiknya belum boleh dibesuk, karena kondisinya belum sehat. Untunglah dia punya cukup pengertian, sehingga saya tidak terlalu bersusah hati menjelaskan. Sepanjang hari ini saya lebih mengorientasikan waktu yang ada untuk melihat Timmy. Beberapa kali saya menengok Timmy. Saya lihat kesehatannya hari ini lebih baik dari kemarin. Napasnya jauh lebih teratur dan dia bisa tidur dengan pulas. Ah Tuhan, bila Kau ijinkan Timmy bertahan, sembuhkanlah dia secara total karena kasihan sekali bila si kecil ini harus menanggung derita sakit penyakit berlarut-larut. Begitu inginnya saya memeluk serta menggendong anak saya itu, pasti lebih lagi isteri saya. Kasihan dia, hari ini tetangga sebelah ranjangnya sudah mulai diberikan anaknya untuk disusui sedangkan dia hanya melihatnya saja. Tidak banyak tamu yang datang hari ini, sehingga banyak kesempatan saya untuk bisa bercakap-cakap dengan isteri saya. Hari ini dia belum bisa buang gas, jadi masih belum boleh makan dan minum, infusnya juga belum dicabut. Karena kondisi kesehatannya belum stabil itulah, saya rasa belum waktunya untuk membicarakan masalah anak kami kepadanya.
Hari Ketiga, Senin 10 April 2000 Hari ini saya senang sekali melihat perkembangan kesehatan isteri saya. Dia sudah bisa buang gas, tapi para suster belum memperbolehkan dia melepas infus dulu. Satu botol infus yang sedang dipakai harus dihabiskan dulu, baru infus dapat dicabut. Sejak dari hari Sabtu hingga sekarang, isteri saya cuma minum air beberapa tetes saja hanya untuk membasahi bibir dan kerongkongan. Dia begitu senang karena sudah normal kembali boleh makan dan minum. Air susu isteri saya juga sudah mulai keluar, karena itu tiap beberapa jam dia juga mulai disibukkan memerasnya untuk disimpan di botol dan diserahkan ke suster agar dikirim ke tempat perawatan Timmy. Karena infus belum dicabut dan juga saya lihat dia masih kesakitan bekas operasinya, saya urungkan niat untuk memberitahu isteri tentang keadaan anak kami. Saya lihat hari ini Timmy buang air kecil, wah ... seperti air mancur. Maklum anak lelaki. Senang juga melihatnya, tapi saya juga melihat kondisi anak saya menurun hari ini. Napasnya agak tersengal dan tidurnya pun agak gelisah. Bilirubin anak saya juga tinggi hari ini, sehingga dia mulai disinar. Tubuhnya yang masih sangat kecil itu belum juga bertambah beratnya hingga hari ini. Beberapa kali saya menengok anak saya. Ada suster jaga yang baik, dan ada yang agak judes karena mungkin merasa agak terganggu oleh saya yang sering bolak-balik ke tempat itu. Melihat perkembangan kesehatan anak saya yang bukannya positif tapi malah negatif, saya hanya dapat mendoakannya. Saya tetap yakin bahwa Tuhan tahu yang terbaik, dan Ia juga bekerja dalam segala perkara untuk mendatangkan kebaikan bagi saya. Saya tidak berharap banyak untuk dapat mengetahui rencana Tuhan, tapi saya sungguh mengharapkan dapat dikuatkan dan menerima apapun yang Tuhan rancangkan dalam hidup saya dan apapun itu, pasti bukan rancangan yang buruk atau rancangan kecelakaan. Saya juga berharap besok bisa memberitahu isteri saya akan keadaan anak kami ini dan meminta hikmat dari Tuhan agar dapat memberitahukannya dengan bijak dan dapat pula menguatkan isteri saya.
Hari Keempat, Selasa 11 April 2000 Hari yang ditunggu-tunggu untuk memberitahukan keadaan Timmy pada isteri saya tiba. Saya sangat menghawatirkan isteri saya, takut kalau-kalau ia terguncang dan sangat sedih sehingga membuat kesehatannya terganggu. Saya mula-mula bingung harus mulai dari mana dan kapan saat yang tepat untuk membicarakannya. Tapi sungguh, Tuhan menolong dan menyiapkan segalanya. Pada sore hari sekitar pk. 16.30 saya punya kesempatan berdua dengan isteri. Saat itu tetangga sebelah kiri isteri saya sudah pulang tadi pagi, sedangkan yang sebelah kanan sedang mandi. Mama mertua saya sedang turun membeli sesuatu. Sebelum mulai berbicara, saya berdoa dalam hati, "Ya Tuhan Yesus, tolonglah saya!" Isteri saya menangis mendengar cerita saya tentang Timmy, tapi dia sungguh adalah isteri yang sangat tabah hati. Saya katakan, besok pagi kita semua akan menengok keadaan Timmy, juga anak pertama kami boleh melihat adiknya yang belum pernah dilihatnya selama ini. Saya sangat bersyukur karena hari ini kami sebagai suami-isteri sudah bisa berbagi dalam mengatasi masalah keluarga dan dengan kekuatan dari Tuhan, kami sanggup mengatasinya. Saya sungguh lega karena beban yang saya pikul sendiri sejak dari hari Sabtu yang lalu, akhirnya dapat kami share bersama. Setelah itu, bersama kami membawanya di dalam doa, dan menyerahkannya pada Tuhan Yesus yang kami yakin mengerti apa yang terbaik bagi kami semua.
Hari Kelima, Rabu 12 April 2000 Hari ini sesuai dengan rencana, saya mengajak isteri dan anak pertama saya untuk melihat keadaan Timmy. Kami menjenguknya setelah waktu besuk pagi sudah berakhir agar tidak terlalu menyolok perhatian orang-orang lain yang juga membesuk. Saya mendorong isteri saya yang duduk di kursi roda, karena memang tempat perawatan Timmy yang agak jauh dan isteri saya juga baru bisa berjalan perlahan-lahan sekali. Anak pertama saya sangat senang sekali membantu mendorong mamanya. Dalam hati, saya terus berdoa agar Tuhan menolong isteri saya, supaya dia bisa kuat dan tabah dalam menghadapi semua ini. Saya sadar, pasti isteri saya sangat prihatin dengan kondisi Timmy dan sangat ingin untuk menggendong dan memeluk anak yang baru saja dilahirkannya itu. Saya meminta kekuatan dari Tuhan agar saya dapat dikuatkan dan juga membantu menguatkan isteri saya, yang saat ini pasti sangat lemah baik secara fisik maupun mental. Saya pun berdoa terus agar Tuhan menjadikan isteri saya kuat dan sanggup bertahan di badai yang sedang melanda keluarga kami ini. Saya yakin, saat itu juga Tuhan menjawab doa saya dan meluluskan permintaan saya, karena saya dapat langsung melihat dan merasakan ketabahan isteri saya yang sungguh di luar perkiraan saya saat itu. Dia hanya sedikit menitikkan air mata, dan cepat-cepat menghapusnya agar tidak membingungkan anak pertama kami. Anak pertama kami belum dapat memahami kondisi adiknya, jadi dia tidak banyak bertanya. Terima kasih ya Tuhan, atas segala kebaikan-Mu. Sekitar setengah jam lebih kami berada di tempat itu, kemudian kami kembali ke tempat perawatan isteri saya. Tidak lama kemudian anak pertama kami pulang bersama saudara isteri saya. Setelah makan siang, isteri saya memompa air susunya dan saya membawanya ke tempat Timmy. Saya sangat terkejut melihat kondisi Timmy yang sangat merosot bila dibandingkan dengan tadi pagi. Napasnya sangat susah dan diapun menangis di sela-sela desahan napasnya yang sulit itu. Saya sangat sedih melihat hal itu, tapi tidak ada yang dapat saya lakukan untuk membantu. Hanya doa yang dapat saya naikkan pada Tuhan, karena Dia adalah Allah yang bukan hanya mengerti tapi juga Allah yang peduli. Saya berlari kembali ke tempat perawatan isteri saya, dan membicarakan kondisi Timmy padanya. Isteri saya menangis, tapi tidak berlama-lama. Saya minta dia mendoakan anak kami dan saya segera kembali ke tempat Timmy. Saya terus mendampingi anak saya dari sejak saat itu. Saya diijinkan untuk memasukkan tangan saya ke kotak inkubator anak saya. Baru saat itulah saya dapat menjamah anak saya sejak dia dilahirkan empat hari yang lalu. Siang itu, dokter anak saya datang dan saya berkonsultasi dengannya. Dokter memeriksa kondisi anak saya dan mengatakan bahwa agak sulit bagi anak saya untuk bisa bertahan. Setelah dokter pergi, saya hanya bisa menangis, berdoa dan menyanyi pada saat itu. Saya menangis bukan karena menyesalkan semua ini, tapi saya minta Tuhan mengasihani anak saya agar dia tidak menderita berlarut-larut. Saya berdoa, bila memang Tuhan mau sembuhkan anak saya biarlah Timmy bisa sembuh total, tapi kalaupun rencana Tuhan lain biarlah penderitaannya tidak berkepanjangan. Saya juga menyanyikan lagu-lagu yang dapat menguatkan, menghibur dan agar saya dapat lebih berserah bersandar pada kekuatan Tuhan. Dari sekitar banyak lagu-lagu yang saya nyanyikan, ada dua yang sangat berkesan dan sangat menguatkan saya, yaitu: 1. Mataku Tertuju Pada-Mu Kata-katanya adalah: Mataku tertuju pada-Mu, seg'nap hidupku kus'rahkan pada-Mu Bimbing aku masuk rencana-Mu, 'tuk membesarkan kerajaan-Mu 'Ku mau mengikuti kehendak-Mungkin, ya Bapa, 'ku mau s'lalu menyenangkan hati-Mu
2. Bapa Surgawi Kata-katanya adalah: Bapa Surgawi, ajarku mengenal betapa dalamnya kasih-Mu Bapa Surgawi, buatku mengerti betapa kasih-Mu padaku Semua yang terjadi di dalam hidupku, ajarku menyadari Kau selalu sertaku. B'ri hatiku s'lalu bersyukur pada-Mu, kar'na rencana-Mu indah bagiku.
Sampai sekitar pk. 17.00 sore saya terus menangis, berdoa dan menyanyi. Saya melihat anak saya sudah lebih tenang dan dapat tidur dengan pulas. Napasnya sudah lebih teratur, dan dia sudah tidak menangis lagi. Saya bersyukur pada Tuhan dan memasrahkan anak saya ini pada-Nya. Melihat keadaan yang membaik, ibu suster jaga juga senang, dan dia menganjurkan saya untuk melihat kondisi isteri saya sambil meyakinkan saya bahwa anak saya pasti akan dijaganya dengan baik. Saya sudah lebih tenang ketika saya meninggalkan anak saya untuk melihat keadaan isteri saya. Waktu bertemu dengan isteri saya, saya menceritakan kondisi anak saya dan juga mengatakan apa yang dokter katakan pada saya, bahwa kemungkinan untuk Timmy bertahan sangat kecil. Organ tubuhnya di bagian dalam sudah banyak kelainan dan komplikasi. Isteri saya, walaupun sangat sedih, pada akhirnya dapat memasrahkan Timmy pada Tuhan. Hanya beberapa saat setelah dia menyatakan penyerahannya pada Tuhan atas diri Timmy, suster memanggil saya untuk segera ke tempat perawatan anak saya itu. Sesegera mungkin saya berlari. Ketika saya tiba, saya langsung menghampiri anak saya. Saya berkata padanya, "Timmy, ini papa. Pulanglah ke rumah Bapa yang di Sorga. Papa dan mama sudah merelakanmu. Selamat jalan, Sayang." Masih ada dua kali Timmy menarik dan menghembuskan napasnya, untuk kemudian diam selama-lamanya. Mata saya hanya sedikit berkaca-kaca. Tidak banyak lagi air mata yang tersisa, karena memang sudah sangat banyak yang terbuang sejak siang tadi. Walaupun demikian, ada kelegaan yang Tuhan berikan di tengah badai duka yang sangat hebat melanda saat itu. Seolah saya dapat merasakan seperti yang Timmy rasakan, yaitu fisik yang sangat terasa sakit kemudian tidak lagi terasa sakit, bahkan terasa sangat ringan dan nyaman. Terima kasih Tuhan, walaupun saya sangat berduka tapi Tuhan sudah mengangkat segala kesakitan dan penderitaan anak saya. Saya juga sangat yakin, bahwa Timmy saat ini juga sudah bersama-sama dengan Bapa yang di Sorga.
Penutup Lima hari bersama Timmy mengajarkan pada saya banyak hal. Hal pembaharuan penyerahan diri saya kepada Tuhan. Hal untuk menyadari bahwa Tuhan selalu ada dan memberi kekuatan pada saat kita membutuhkan. Hal bahwa Tuhan itu sangat baik. Hal bahwa seharusnya kita dapat berkata seperti Ayub berkata "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan!". Hal bahwa bila kita sepenuhnya berserah pada Tuhan, kita akan menerima limpahan kekuatan dan kecukupan untuk dapat menanggung segala perkara yang harus kita tanggung, seburuk apapun perkara itu. Saya sangat bersyukur karena Tuhan sudah mengabulkan semua kerinduan saya untuk bisa lebih mengenal dan mengerti kasih Tuhan, serta menyadari rencana Tuhan yang indah bagi saya, seperti lagu Bapa Surgawi yang sering saya nyanyikan. Saya tuliskan semua yang saya alami dan rasakan ini, supaya bila suatu saat saya lupa atau merasa sulit untuk bersyukur kepada Tuhan, saya dapat membacanya, sehingga kembali diingatkan akan kebaikan-Nya dan dapat bersyukur pada-Nya selalu, apapun yang terjadi. Saya juga berharap tulisan ini dapat menjadi berkat bagi semua yang membacanya. SEGALA PUJI, HORMAT DAN SYUKUR ADALAH HANYA BAGI TUHAN SELAMA-LAMANYA. Amin.
Note: Tulisan ini disampaikan oleh Sdr. Tjiong Kim Gwat (M'ben) kepada saya untuk sharing dan boleh disebar-luaskan untuk bahan kesaksian. Sdr. Tjiong Kim Gwat adalah aktivis, koordinator Vocal Group kami di GKI Samanhudi dan telah melayani sejak lebih 25 tahun yang lalu. Terima kasih buat semua pembaca, semoga menjadi berkat yang juga menguatkan disaat kita mengalami hari-hari yang sulit.
|